Minggu, 21 Agustus 2016

Bayarkan Upah Sebelum Keringat Kering

Bagi setiap majikan hendaklah ia tidak mengakhirkan gaji bawahannya dari waktu yang telah dijanjikan, saat pekerjaan itu sempurna atau di akhir pekerjaan sesuai kesepakatan. Jika disepakati, gaji diberikan setiap bulannya, maka wajib diberikan di akhir bulan. Jika diakhirkan tanpa ada udzur, maka termasuk bertindak zholim.

Allah Ta’ala berfirman mengenai anak yang disusukan oleh istri yang telah diceraikan,

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. Ath Tholaq: 6). Dalam ayat ini dikatakan bahwa pemberian upah itu segera setelah selesainya pekerjaan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan memberikan upah sebelum keringat si pekerja kering. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).  Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.

Al Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718)

Menunda penurunan gaji pada pegawai padahal mampu termasuk kezholiman. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

“Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezholiman” (HR. Bukhari no. 2400 dan Muslim no. 1564)

Bahkan orang seperti ini halal kehormatannya dan layak mendapatkan hukuman, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ

“Orang yang menunda kewajiban, halal kehormatan dan pantas mendapatkan hukuman” (HR. Abu Daud no. 3628, An Nasa-i no. 4689, Ibnu Majah no. 2427, hasan). Maksud halal kehormatannya, boleh saja kita katakan pada orang lain bahwa majikan ini biasa menunda kewajiban menunaikan gaji dan zholim. Pantas mendapatkan hukuman adalah ia bisa saja ditahan karena kejahatannya tersebut.

Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) pernah ditanya, “Ada seorang majikan yang tidak memberikan upah kepada para pekerjanya dan baru memberinya ketika mereka akan safar ke negeri mereka, yaitu setelah setahun atau dua tahun. Para pekerja pun ridho akan hal tersebut karena mereka memang tidak terlalu sangat butuh pada gaji mereka (setiap bulan).”

Jawab ulama Al Lajnah Ad Daimah, “Yang wajib adalah majikan memberikan gaji di akhir bulan sebagaimana yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi jika ada kesepakatan dan sudah saling ridho bahwa gaji akan diserahkan terakhir setelah satu atau dua tahun, maka seperti itu tidaklah mengapa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

المسلمون على شروطهم

“Kaum muslimin wajib mematuhi persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 14: 390).

Wallahul muwaffiq.


Rabu, 30 Maret 2016

Kita Beda, Namun Tak Mesti Saling Bermusuhan





Oleh : Prastyo Ari Wibowo, S.Sos.I

Berselisih pendapat dalam masalah ijtihadiyah adalah suatu hal yang wajar. Karena barangkali ada pemahaman dalil yang berbeda atau beda dalam hal ijtihad. Namun seyogyanya perbedaan tersebut tidak mengantarkan pada sikap saling bermusuhan dan saling menghujat. Setiap muslim tetaplah bersikap bijak, mengedepankan akhlak mulia dan berkata yang santun.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah berkata :
“Adapun perselisihan dalam masalah hukum maka jumlahnya tak berbilang. Seandainya setiap dua orang muslim yang berselisih pendapat dalam suatu masalah harus saling bermusuhan, maka tidak akan ada persaudaraan pada setiap muslim. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu saja -dua orang yang paling mulia setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berdua berbeda pendapat dalam beberapa masalah, tetapi yang diharap hanyalah kebaikan.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 173)

Kembali Ibnu Taimiyah melanjutkan,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada para sahabatnya :
“Janganlah seorang pun shalat melainkan jika sudah sampai di Bani Quraizhah.”
Di antara mereka ada yang sudah mendapati waktu Ashar di jalan, namun mereka berkata, “Janganlah shalat kecuali sudah mencapai Bani Quraizhah.” Hingga akhirnya mereka pun luput (telat) melakukan shalat ‘Ashar. Sedangkan lainnya berkata, “Kita tidak boleh mengakhirkan shalat ‘Ashar.” Akhirnya mereka pun melaksanakan shalat ‘Ashar di jalan (pada waktunya). Namun tidak ada seorang pun di antara dua kelompok yang berbeda tersebut saling mencela. Hadits ini disebutkan dalam shahihain dari hadits Ibnu ‘Umar.

Hal di atas berkaitan dengan masalah hukum (fikih). Oleh karenanya, jika ada masalah selama bukan suatu yang krusial dalam hal ushul (pokok agama), maka diserupakan seperti itu pula. (Majmu’ Al Fatawa, 24: 173-174)

Sungguh mengagumkan apa yang dikatakan oleh ulama besar semacam Imam Syafi’i kepada Yunus Ash Shadafiy -nama kunyahnya Abu Musa-. Imam Syafi’i berkata padanya :
“Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” (Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16).

Setelah membawakan perkataan Imam Asy Syafi’i di atas, Imam Adz Dzahabi berkata, “Hal ini menunjukkan kecerdasan dan kepahaman Imam Syafi’i walau mereka -para ulama- terus ada beda pendapat.”

Semoga sajian kali ini bermanfaat dan semakin menyatukan hati kita yang berselisih dalam hal ijtihadiyah. Moga bisa saling menghargai dan tetap menjaga persaudaraan.

Selasa, 15 Maret 2016

Tau, Sengaja, Tidak Terpaksa


Oleh : Ust. P. Ari Wibowo, S.Sos.I
Orang yang melakukan kesalahan akan dikatakan melanggar hanya apabila orang tersebut masuk dalam kategori tahu, sengaja, dan tidak terpaksa. Apabila seseorang melanggar tetapi tidak tahu, misalnya orang yang baru masuk Islam, tidak tahu bahwa merokok membatalkan puasa, kemudian pada saat mulai ikut berpuasa ia merokok, maka tidaklah dia dihukumi melanggar. Hanya setelah diberitahu, hukum melanggar berlaku baginya.
Demikian juga seseorang yang melakukan kesalahan tetapi tidak disengaja, tidak juga dihukumi melanggar. Misalnya seseorang yang lupa atau tertidur. Waktu sholat subuh kan sebelum matahari terbit. Tetapi karena tidak sengaja seseorang ketiduran, maka tidak dihukumi salah kalau sholatnya lewat waktu. Hanya segera setelah bangun orang yang kebablasan tidur tersebut harus mengerjakan sholatnya. Tentu ini dikecualikan bagi orang yang ketiduran setelah mendengar sholat subuh. Orang yang mendengar seruan sholat subuh, tetapi justru menarik selimutnya kembali dan kebablasan tidur sampai kesiangan, orang ini jelas salah, melanggar. Dia patut dihukum.
Orang yang terpaksa atau dipaksa melakukan pelanggaran pun tidak dihukumi melanggar. Bahkan dalam keadaan darurat tidak apa-apa kita melanggar, asal di dalam hati, kita tetap berkeyakinan bahwa yang kita lakukan tersebut salah. Misalnya, memakan bangkai dalam keadaan terpaksa. Allah Berfirman dalam surat Al Baqarah:
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah [2]: 173)
Atau contoh lain seorang sahabat di zaman rasulullah yang terpaksa menyembunyikan keimanannya karena takut jiwanya terancam. Sahabat ini dikatakan tidak melanggar. Boleh.
Hanya sekarang banyak kesalahan yang dilakukan, ingkar terhadap perintah Allah dan melanggar larangan justru bukan disebabkan ketidaktahuan. Bahkan pengetahuan banyak, tetapi tidak mau tahu. Banyak orang yang melalaikan sholat, misalnya, bukan karena tidak tahu bahwa sholat itu wajib. Hanya gara-gara alasan yang dibuat-buat bahkan mempermain-mainkan kuasa Allah dengan mengatakan “Ah Tuhan kan tahu kita sedang sibuk” orang-orang ini dengan tenang meninggalkan sholat. Naudzubillah. Atau contoh-contoh pelanggaran lain. Orang-orang seperti ini bukannya tidak tahu, tapi cenderung tidak mau tahu.
Sholat itu wajib, semua orang tahu. Bahkan hadis mengatakan sholat inilah ibadah yang pertama kali dihisab. Kalau baik sholat seseorang, maka baik pula ibadah yang lain. Tetapi kalau buruk ibadah sholatnya, buruk pula ibadah yang lain. Tetapi kenyataannya, alangkah sering kita melalaikannya. Bukan karena tidak tahu, bahkan disengaja dan tanpa keterpaksaan.
Ya Allah, tunjukkanlah kami yang benar itu benar dan kuatkan kami untuk melaksanakannya. Dan tunjukkan kami yang salah itu salah dan kuatkan kami untuk menghindarinya. Amien.

Nisfu Sya'ban dan Dalil-Dalilnya


Oleh : Ust. P. Ari Wibowo, S.Sos.I
Kalau dilihat dari kaca mata para ahli hadits, praktek ibadah ritual yang dilakukan oleh sebagian saudara kita di malam ke-15 bulan Sya'ban (nisfu sya'ban), tidak didukung dengan hadits yang mencapai derajat shahih kepada Rasulullah SAW.
Namun bukan berarti apa yang dikerjakan itu otomatis menjadi haram atau kemungkaran yang harus diperangi. Sebab ternyata kita menemukan dalil-dalil yang meski tidak sampai derajat shahih, tetapi juga tidak sampai dhaif apalagi palsu. Hadits-hadits itu mencapai derajat hasan. Setidaknya, kesimpulan kita adalah bahwa derajat kekuatan tiap hadits itu memang jadi perbedaan pandangan kalangan ahli hadits.
Walhasil, perkara ini memang menjadi wilayah khilaf di kalangan ulama. Sebagian mentsabatkan hal itu namun sebagian tidak. Dan selama suatu masalah masih menjadi khilaf ulama, setidaknya kita tidak perlu langsung menghujat apa yang dilakukan oleh saudara kita bila ternyata tidak sama dengan apa yang kita yakini.
Dalil Tentang Keutamaan Bulan Sya'ban dan Khususnya Nisfu Sya'ban
Dalil-dalil yang diperselisihkan oleh para ulama tentang level keshahihannya itu antara lain adalah hadits-hadits berikut ini:
Sesungguhnya Allah 'Azza Wajalla turun ke langit dunia pada malam nisfu sya'ban dan mengampuni lebih banyak dari jumlah bulu pada kambing Bani Kalb (salah satu kabilah yang punya banyak kambing). (HR At-Tabarani dan Ahmad)
Namun Al-Imam At-Tirmizy menyatakan bahwa riwayat ini didhaifkan oleh Al-Bukhari.
Selain hadits di atas, juga ada hadits lainnya yang meski tidak sampai derajat shahih, namun oleh para ulama diterima juga.
Dari Aisyah radhiyallahu anha berkata bahwa Rasulullah SAW bangun pada malam dan melakukan shalat serta memperlama sujud, sehingga aku menyangka beliau telah diambil. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan selesai dari shalatnya, beliau berkata, "Wahai Asiyah, (atau Wahai Humaira'), apakah kamu menyangka bahwa Rasulullah tidak memberikan hakmu kepadamu?" Aku menjawab, "Tidak ya Rasulallah, namun Aku menyangka bahwa Anda telah dipanggil Allah karena sujud Anda lama sekali." Rasulullah SAW bersabda, "Tahukah kamu malam apa ini?" Aku menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda, "Ini adalah malam nisfu sya'ban (pertengahan bulan sya'ban). Dan Allah muncul kepada hamba-hamba-Nya di malam nisfu sya'ban dan mengampuni orang yang minta ampun, mengasihi orang yang minta dikasihi, namun menunda orang yang hasud sebagaimana perilaku mereka." (HR Al-Baihaqi)
Al-Baihaqi meriwayatkan hadits ini lewat jalur Al-'Alaa' bin Al-Harits dan menyatakan bahwa hadits ini mursal jayyid. Hal itu karena Al-'Alaa' tidak mendengar langsung dari Aisyah ra.
Ditambah lagi dengan satu hadits yang menyebutkan bahwa pada bulan Sya'ban amal-amal manusia dilaporkan ke langit. Namun hadits ini tidak secara spesifik menyebutkan bahwa hal itu terjadi pada malam nisfu sya'ban.
Dari Usamah bin Zaid ra bahwa beliau bertanya kepada nabi SAW, "Saya tidak melihat Anda berpuasa (sunnah) lebih banyak dari bulan Sya'ban." Beliau menjawab, "Bulan sya'ban adalah bulan yang sering dilupakan orang dan terdapat di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan itu adalah bulan diangkatnya amal-amal kepada rabbul-alamin. Aku senang bila amalku diangkat sedangkan aku dalam keadaan berpuasa." (HR An-Nasai)
Dari tiga hadits di atas, kita bisa menerima sebuah gambaran para para ahli hadits memang berbeda pendapat. Dan apakah kita bisa menerima sebuah riwayat yang dhaif, juga menjadi ajang perbedaan pendapat lagi. Sebab sebagian ulama membolehkan kita menggunakan hadits dhaif (asal tidak parah), khususnya untuk masalah fadhailul a'mal, bukan masalah aqidah asasiyah dan hukum halam dan haram.
Anggaplah kita meminjam pendapat yang menerima hadits-hadits di atas, maka kita akan mendapati bahwa memang ada kekhususan di bulan sya'ban khususnya malam nisfu sya'ban. Di antaranya adalah Allah SWT mengampuni dosa-dosa yang minta ampun. Dan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat di malam itu dan memperlama shalatnya. Dan bahwa bulan Sya'ban adalah bulan diangkatnya amal-amal manusia.
Namun semua dalil di atas belum sampai kepada bagaimana bentuk teknis untuk mengisi malam nisfu sya'ban itu.
Ritual Khusus Malam Nisfu Sya'ban
Yang menjadi pertanyaan, adakah anjuran untuk berkumpul di masjid-masjid membaca doa-doa khusus di malam itu? Dan sudahkah hal itu dilakukan di zaman nabi SAW? Ataukah ada ulama dimasa lalu yang melakukannya di masjid-masjid sebagaimana yang sering kita saksikan sekarang ini?
Anjuran untuk berkumpul di malam nisfu sya'ban memang ada, namun dari segi dalilnya, apakah terkoneksi hingga Rasulullah SAW, para ulama umumnya menilai bahwa dalil-dalil itu dhaif. Di antaranya hadits berikut ini:
Dari Ali bin Abi Thalib secara marfu' bahwa Rasululah SAW bersabda, "Bila datang malam nisfu sya'ban, maka bangunlah pada malamnya dan berpuasalah siangnya. Sesungguhnya Allah SWT turun pada malam itu sejak terbenamnya matahari ke langit dunia dan berkata, "Adakah orang yang minta ampun, Aku akan mengampuninya. Adakah yang minta rizki, Aku akan memberinya riki. Adakah orang sakit, maka Aku akan menyembuhkannya, hingga terbit fajar. (HR Ibnu Majah dengan sanad yang dhaif)
Sedangkan pemandangan yang seperti yang kita lihat sekarang ini dimana manusia berkumpul untuk berdzikir dan berdoa khusus di malam nisfu sya'ban di masjid-masjid, belum kita temui di zaman Rasulullah SAW maupun di zaman shahabat. Kita baru menemukannya di zaman tabi'in, satu lapis generasi setelah generasi para shahabat.
Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para tabiin di negeri Syam seperti Khalid bin Mi'dan dan Makhul telah ber-juhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nisfu sya'ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan.
Namun disebutkan terdapat kisah-kisah Israiliyat dari mereka. Sehingga hal itu diingkari oleh para ulama lainnya, terutama ulama dari hijaz, seperti Atho' bin Abi Mulkiyah, termasuk para ulama Malikiyah yang mengatakan bahwa hal itu bid'ah.
Al-Qasthalany kemudian meneruskan di dalam kitabnya bahwa para ulama Syam berbeda pendapat dalam bentuk teknis ibadah di malam nisfu sya'ban.
1. Bentuk Pertama
Dilakukan di malam hari di masjid secara berjamaah. Ini adalah pandangan Khalid bin Mi'dan, Luqman bin 'Amir. Dianjurkan pada malam itu untuk mengenakan pakaian yang paling baik, memakai harum-haruman, memakai celak mata (kuhl), serta menghabiskan malam itu untuk beribadah di masjid.
Praktek seperti ini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih dan beliau berkomentar tentang hal ini, "Amal seperti ini bukan bid'ah." Dan pendapat beliau ini dinukil oleh Harb Al-Karamani dalam kitabnya.
2. Bentuk kedua
Pendapat ini didukung oleh Al-Auza'i dan para ulama Syam umumnya. Bentuknya bagi mereka cukup dikerjakan saja sendiri-sendiri di rumah atau di mana pun. Namun tidak perlu dengan pengerahan masa di masjid baik dengan doa, dzikir maupun istighfar. Mereka memandang hal itu sebagai sesuatu yang tidak dianjurkan.
Jadi di pihak yang mendukung adanya ritual ibadah khusus di malam nisfu sya'ban itu pun berkembang dua pendapat lagi.
Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, seorang ahli fiqih kondang bermazhab Syafi'i yang punya banyak karya besar dan kitabnya dibaca oleh seluruh pesantren di dunia Islam (di antaranya kitab Riyadhusshalihin, arba'in an-nawawiyah, al-majmu'), punya pendapat menarik tentang ritual khusus di malam nisfu sya'ban.
Beliau berkata bahwa shalat satu bentuk ritual yang bid'ah di malam itu adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid'ah. Sama dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid'ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari Rasulullah SAW.
Beliau mengingatkan untuk tidak terkecoh dengan dalil-dalil dan anjuran baik yang ada di dalam kitab Ihya' Ulumiddin karya Al-Ghazali, atau kitab Quut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki.
Ustadz 'Athiyah Shaqr
Beliau adalah kepala Lajnah Fatwa di Al-Azhar Mesir di masa lalu. Dalam pendapatnya beliau mengatakan bahwa tidak mengapa bila kita melakukan shalat sunnah di malam nisfu sya'ban antara Maghri dan Isya' demi untuk bertaqarrub kepada Allah. Karena hal itu termasuk kebaikan. Demikian juga dengan ibadah sunnah lainnya sepanjang malam itu, dengan berdoa, meminta ampun kepada Alla. Semua itu memang dianjurkan.
Namun lafadz doa panjang umur dan sejenisnya, semua itu tidak ada sumbernya dari Rasulullah SAW.
Dr. Yusuf al-Qaradawi
Ulama yang sering dijadikan rujukan oleh para aktifis dakwah berpendapat tentang ritual di malam nasfu sya'ban bahwa tidak pernah diriwayatkan dari Nabi SAW dan para sahabat bahwa mereka berkumpul di masjid untuk menghidupkan malam nisfu Sya'ban, membaca doa tertentu dan shalat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam.
Juga tidak ada riwayat untuk membaca surah Yasin, shalat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in).
Kesimpulan
Dan memang masalah ini adalah mahallun-khilaf' sepajang zaman. Tidak akan ada penyelesaiannya, karena masing-masing pihak berangkat dengan ijtihad dan dalil masing-masing, di mana kita pun berhusnudzdzhan bahwa mereka punya niat yang baik serta mereka memiliki kapasitas dan otoritas dalam berijtihad.
Lepas dari keyakinan kita masing-masing yang merupakan hak kita untuk mengikutinya, namun hak kita dibatasi oleh adanya hak saudara kita dalam kebebasan berekspresi dalam ijtihad mereka, selama masih dalam koridor manhaj yang benar.

Agar Puasa kita tidak Sia-sia


Oleh : Ust. P. Ari Wibowo, S.Sos.I
Pertama : Menghayati hikmah dan Manfaat puasa bagi kita.
Hikmah puasa :
1. Tempat belajar agar menjadi orang bertaqwa.
2. Menggugurkan dosa-dosa kita yang terdahulu.
3. Menjadikan seseorang mulya dihari kiamat.
Ada dua amal yang memberi syafaat : Puasa dan membaca Al-qur’an.
Kedua : Mengetahui aturan-aturan dalam berpuasa
1. Mengetahui apa-apa yang diperbolehkan selama berpuasa ?
2. Apa saja yang dilarang selama berpuasa ?
3. Apa saja yang membatalkan puasa ?
4. Siapa saja yang boleh tidak berpuasa ?
Ketiga : Menjaga puasa kita agar tetap utuh pahalanya .
Mari jauhi selama puasa :
1. Marah tiada guna
2. Berdusta
3. Ghibah, menggunjing, menghina dll
4. Nonton TV terus menerus
5. Maen games terus menerus
6. Tidur terus menerus
7. Nongkrong-nongkrong
Keempat : Memperbanyak Amal selama bulan ramadhan
1. Tadarus Al-qur’an
2. Memperbanyak sodaqoh
3. Sholat malam sebelum sahur
4. Bersegera dalam berbuka&mengakhirkan sahur
5. Sholat tarawih
6. Memberi buka puasa pada org yg puasa
7. I’tikaf dimasjid pada sepuluh hari terakhir dll
Kelima : Menjaga semua amal dengan istiqomah hingga akhir ramadhan
INGAT ! Romadhan bagaikan perlombaan, maka digaris finish lah ketentuan menang atau kalah !
Namun banyak orang hanya semangat diawal tetapi setelahnya makin mengendur.
Carilah Lailatul Qodar itu…
• Kenapa ada lailatul qodar ?
• Siapa yang mendapatkannya ?
• Pahalanya sama dengan beramal selama 83 tahun
• Semua do’a pada malam itu pasti dikabulkan
Wajar jika orang yang berpuasa dibulan romadhan dengan keimanan dan perhitungan kepada Allah akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
SYUKRON…AND…WASSALAMU’ALAIKUM

Hisab dan Ru’yah


OLeh : Ust. P. Ari Wibowo, S.Sos.I
Hisab artinya hitungan sedangkan ru`yat adalah pandangan/penglihatan. Istilah ilmu hisab maknanya adalah disiplin ilmu untuk menetukan penanggalan berdasrkan hitungan matematis.
Sedangkan ru`yat adalah penetuan jatuhnya awal bulan qamariyah berdasarkan penghilatan mata atau pengamatan ada tidaknya bulan sabit (hilal) tanggal satu pada hari terakhir... (tanggal 29) bulan qamariyah. Pengamatan dilakukan pada sore hari menjelang matahari terbenam. Bila di hari itu nampak hilal, maka dipastikan bahwa esok telah masuk kepada bulan baru atau tanggal satu. Dan hari itu (tanggal 29) menjadi hari terakhir dari bulan sebelumnya.
Rasulullah SAW dalam beribadah selalu menjalankannya sesuai dengan kehendak Allah. Dan apa yang dikerjakannya itu menjadi dasar hukum Islam yang harus diikuti oleh umat Islam seluruhnya hingga akhir masa. Dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adha tidak pernah Rasulullah SAW menentukannya berdasarkan hisab. Bukan karena di zaman itu tidak ada ilmu hisab, tapi karena memang itulah yang dijadikan ajaran Islam.
Pada abad ke-7 dimana Rasulullah SAW hidup, ilmu hisab sebenarnya sudah ada dan cukup maju. Dan bila memang mau, tidak ada kesulitan sedikitpun untuk menggunakan ilmu hisab di zaman itu. Apalagi bangsa arab terkenal sebagai pedagang yang sering melakukan perjalanan ke berbagai peradaban besar dunia seperti Syam dan Yaman. Namun, belum pernah didapat sekalipun keterangan dimana Rasulullah SAW memerintahkan untuk mempelajari ilmu hisab ini terutama untuk penentuan awal bulan. Karena itu alasan yang pasti mengapa Rasulullah SAW tidak menggunakan hisab dalam penetuan tanggal adalah karena memang ajaran Islam tidak merekomendir penggunaan hisab untuk dijadikan penentu penanggalan.
Sebaliknya Rasulullah SAW sejak awal telah mengunakan ru`yatul hilal dan ada sekian banyak hadits menyebutkan hal itu. Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW telah bersabda ”Puasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu (lebaran) dengan melihatnya. Apabila tertutup awan, maka genapkanlah bulan sya`ban menjadi 30 hari”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw bersabda, “Satu bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kamu puasa kecuali melihat hilal. Namun bila hilal tertutup awan, maka genapkanlah menjadi 30 hari”. (HR. Bukhari)
Karena itu wajar bila semua ulama baik di zaman dahulu maupun di zaman sekarang semuanya sepakat bahwa dalam menentukan pergantian kalender hijriyah yang berkaitan dengan masalah jadwal ibadah seperti awal ramadhan, jatuh hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha serta yang lainnya adalah dengan menggunakan ru’yatul hilal.
Hikmah di balik penggunaan ru’yatul hilal tidak lain adalah bahwa agama Islam itu mudah. Tidak memerlukan teknologi canggih untuk bisa menerapkannya. Juga tidak membutuhkan perhitungan (hisab) yang njelimet untuk menentukannya. Bahkan seorang arab badui yang tinggal di tengah padang pasir dan jauh dari pusat peradaban bisa sekalipun bisa melakukannya.
Sebaliknya, meski sering dikatakan lebih ilmiyah, namun metode hisab itu sendiri juga penuh dengan perbedaan. Karena ada banyak cara atau metode penghitungan yang dikenal. Selain itu juga ada sekian banyak ketentuan dan sistem yang dipakai oleh masing-masing pelaku hisab. Walhasil, meski menggunakan ilmu hitung yang paling modern sekalipun, hasilnya tidak selalu sama. Sehingga bila kita menelusuri leteratur fiqih baik klasik maupun modern, maka kita hampir tidak mendapati metode hisab dalam penentuan tanggal hijriyah.
Kalaupun hisab itu akan digunakan, maka sifatnya hanya sebagai pengiring atau pemberi informasi umum tentang dugaan posisi hilal, namun bukan sebagai eksekutor dimana hanya dengan hisab lalu belum apa-apa sudah dipastikan jatuh awal Ramadhan.

RENUNGAN UNTUK KAUM HAWA !!! Ma'af Kalau Tersinggung, cuma mengingatkan.


Oleh : Ust. P. Ari Wibowo, S.Sos.I
TAK TAU MALU
Itulah fenomena yang makin nyata.
Tak ada rasa malu,
tak ada rasa berdosa.
Semuanya berjalan nampak biasa saja.
Mengaku Islam agamanya.
Mengaku Allah adalah tuhannya.
Mengaku Al-Qur'an pedoman hidupnya.
Mengaku Muhammad adalah nabinya.
Tapi sayang pengakuan imannya hanya berhenti di lisan semata.
Tak sampai pada dinding hatinya terlebih ruang hati terdalam.
Tak nampak dari perbuatannya yang ada justru prilaku seperti tak ber-Tuhan.
Miris melihat insan bernama wanita.
Berjalan berlenggok dengan aurat terbuka.
Cengar - cengir mempertontonkan tubuh mengundang syahwat durjana.
Mengadu tubuh seksi antara satu dan lainnya.
Semakin kecil pakaian semakin seksi katanya
semakin sempit semakin aduhai katanya
semakin ketat semakin sempurna katanya
Bangga sama tubuhnya
tapi dikufuri dengan mengumbarnya kemana-mana.
Dinasehati malah nyinyir "jangan sok suci".
Pakaian tak masalah katanya yang penting hati..
Katanya mau ke Syurga tapi merasa benar sendiri..
padahal, di syurga tak ada wanita seperti ini.
Boro-boro ke syurga, mencium wanginya saja tak bisa dinikmati.
Ada juga wanita dengan kerudung modis
Kerudung berjambul kayak punuk onta. Sadis!
Berkerudung Sesuai syariat katanya, bikin miris
Jilbab panjang dikatakan kuno gak necis.
Begini, Jilbab sesuai tuntunan jaman. Tragis!
Beribadah itu butuh ilmu
Gak asal pake dengan tafsir sendiri
Dikasih tau sama yang faham, belagu
Tetap pilih punuk onta katanya biar percaya diri
Begitulah fenomena jaman sekarang
Iman tergerus dengan barang dagangan
Yang penting keren ikut ke barat-baratan
Udah lupa ama perintah Tuhan.
Maksiat terbentang jadi biasa
Yang nentang malah dibilang Islam-Islaman
Dituduh Islam Aliran Begitulah,
Yang salah dibenarkan
Yang benar disalahkan
Namun tak sedikit yang tetap bertahan
Pada ajaran yang tertuang dalam Al-qur'an
Berpakaian iman, berjilbab panjang
Meski kadang datang cibiran
"ih, itu Islam apaan??"
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat :
[1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan
[2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring.
Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)
Astagfirullah....
Ya Allah,
Ampunilah semua dosa-dosa kami, baik sengaja atau pun tidak, berkahilah kami, ramahtilah kami, berikanlah kami hidayah-Mu agar kami senantiasa dekat kepada-Mu hingga akhir hayat. Aamiin
Ya ALLAH...
✔ Muliakanlah orang yang membaca tausiah ini
✔ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
✔ Lapangkanlah hatinya
✔ Bahagiakanlah keluarganya
✔ Luaskan rezekinya seluas lautan
✔ Mudahkan segala urusannya
✔ Kabulkan cita-citanya
✔ Jauhkan dari segala Musibah
✔ Jauhkan dari segala Penyakit,Fitnah,Prasangka Keji,Berkata Kasar dan Mungkar.
✔ Dan dekatkanlah jodohnya untuk orang yang membaca dan membagikan tausiah ini.
Aamiin ya Rabbal'alamin

IKLAN

IKLAN